Perda Nomor 7 Tahun 1999, tentang
Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan
untuk Melakukan Perbuatan Asusila, yang digunakan sebagai landasan Wali Kota
Surabaya, Tri Rismaharini menutup Gang Dolly
dinilai hanya sebagai akal-akalan membunuh perekonomian masyarakat sekitar
Dolly.
Tudingan itu dilontarkan Ketua Tim
Advokasi Front Pekerja Lokalisasi (FPL) Gang Dolly dan Jarak, Anis. Menurut
dia, sejarah Dolly sudah berkembang pesat sejak 1960-an. Sementara Perda Nomor
7 Tahun 1999 itu baru lahir, setelah bisnis prostitusi di Surabaya mulai
menjamur.
"Kalau ngomong konstitusi,
harusnya Pemkot Surabaya melihat aturan di atasnya. Sebelum itu (Perda Nomor 7)
ada, lokalisasi ini ada sejak tahun 60-an (1960). Harusnya akar persoalan itu
yang harus diselesaikan. Akar persoalan itu adalah masalah sosial, tapi ini
belum diselesaikan," terang Anis, Senin (26/5).
Perempuan berjilbab ini kembali
memaparkan, lokalisasi yang konon terbesar se-Asia tenggara, itu ada karena
masalah sosial di masyarakat tak terselesaikan. Sehingga mereka membentuk
komunitas usaha di lokalisasi yang dibangun oleh nonik Belanda, Tante Dolly di
masa kolonial tersebut.
"Ketika persoalan sosial-ekonomi
masyarakat tidak tersentuh sama sekali oleh pemerintah, maka masyarakat sebagai
individu memberdayakan dirinya sendiri. Dan sejak tahun 1960, bisnis prostitusi
di sini (Dolly dan Jarak) berkembang pesat," katanya.
Nah, lanjut dia, melihat persoalan yang
terjadi di masyarakat ini, harusnya pemerintah terlebih dulu memberdayakan
masyarakat di sekitar lokalisasi sebelum melakukan penutupan. "Selesaikan
itu dulu, baru bikin Perda," ujarnya.
Analisis data yang dipaparkan Anis ini,
merujuk pada persoalan yang terjadi di dua lokalisasi yang sudah ditutup oleh
pemerintah kota, yakni lokalisasi Dupak Bangunsari dan Klakah Rejo. Sampai saat
ini, mantan penghuni di dua lokalisasi tersebut belum menerima kompensasi yang
dijanjikan Pemkot Surabaya, berupa usaha mandiri dan produktif.
"Bahkan upaya pemerintah dengan
memberi pelatihan itupun gagal. Buktinya masih banyak dari mereka yang kembali
membuka wisma dan kembali menjadi PSK (pekerja seks komersial). Jadi, kenyataan
ini, membuktikan kalau pemerintah hanya mengumbar kebohongan belaka,"
ujarnya.
Tak hanya itu, janji Dinas Tenaga Kerja
Kota Surabaya, yang menyatakan ada sekitar 80 perusahaan siap menampung para
mantan PSK dan mucikari maupun warga sekitar yang menggantungkan hidup di
geliat prostitusi, juga belum ada jaminan.
"Sampai saat ini masih ada PHK
(pemutusan hubungan kerja) sepihak, outsourcing, sistem kontrak, gaji di bawah
UMK, tidak ada jaminan sosial, masih menjadi persoalan perburuan di Surabaya
dan belum mampu diselesaikan. Bagaimana mungkin bisa menjanjikan akan menampung
mantan PSK dan mucikari?," kata perempuan yang mengaku tumbuh dan besar di
dekat area lokalisasi itu.
Kembali Anis mengatakan, nilai UMK di
Kota Surabaya saat ini hanya berkisar pada level Rp 2,2 juta. "Sebagai
kota besar, nilai UMK ini masih tergolong rendah dibanding Gresik yang mencapai
Rp 2,39 juta, Sidoarjo senilai Rp 2,36 juta dan Pasuruan mencapai Rp 2,3 juta."
Berdasarkan nilai UMK yang rendah di
Kota Pahlawan, yang notabene-nya sebagai kota metropolis dan ibu kota Jawa
Timur itu, jadi menurut Anis, sangat tidak realistis jika Pemkot Surabaya
menjanjikan pekerjaan laik bagi mantan PSK dan mucikari pasca-penutupan.
"Dengan menutup lokalisasi,
pemerintah telah melanggar Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang
Pemerintah Daerah dan Pasal 22 tentang kewajiban pemerintah sebagai
penyelenggara otonomi daerah dan batang tubuh UUD 1945."
"Biarkan masyarakat menyelesaikan
masalahnya sendiri, dengan kearifan lokal. Masyarakat nantinya akan menutup
sendiri lokalisasi jika persoalan sosial-ekonomi masyarakat terselesaikan,
sebab lokalisasi ada karena masalah sosial," ujarnya.
[mtf] Merdeka.com -